Kisah Balai Desa Jegreg

Balai desa Jegreg selalu terlihat sibuk, tidak hanya saat hari terang tetapi juga saat malam, saya dan teman-teman adalah pelaku di kisah malam.

Dua tahun lebih sering habiskan waktu malam di balai desa Jegreg, Kec. Lengkong, Kab. Nganjuk, tiga kali dalam seminggu. Mengikuti salah satu perguruan bela diri resmi Indonesia, membuat saya sedikit memahami seluk-beluk suasana malam balai desa Jegreg. Kisah pengalaman yang memang pribadi ini pelakunya. 

Kisah Balai Desa Jegreg - amaryk.id
Designed by Muis Amaryk
Di halaman depan balai desa Jegreg itulah tempat kami melatih ketangkasan diri, bukan di ruang balai. Tak heran jika ada cerita horor yang mengiringinya—malam. Belum lagi kami anak desa yang memang hobi membahas perihal dedemitan. Sejak kecil saja, sudah cakap berkisah ngalor-ngidul tentang keangkeran. 

Mulai ujung desa dari timur—barat dan selatan—utara, lokasi ‘mereka’ tak luput diperbincangkan. 

Mereka, teman saya yang sepertinya tahu dan diketahui ‘begituan’, pasti langsung cerita seketika kejadian terjadi, saat latihan di balai desa Jegreg. Kalau tidak, mereka memulai dengan ekspresi diam pasif. Dan, bagi teman lain yang memahami kondisi tersebut langsung respek bertanya dan tentu menenangkan.

Teman saya ada tujuh anak, seangkatan di latihan tersebut. Di antara mereka hanya saya saja yang kurang cakap/beruntung/sensitif dengan dedemitan. Acap kali, segera setelah kondisi salah satu dari mereka ‘diberi-lihat’ atau bisa dua--tiga anak, saya adalah anak yang paling terlambat sadar atau yang paling terakhir tahu kondisi tersebut. 

Parah, tidak mengerti teman yang sedang dilanda musibah(?). 

Saat sudah memahami kondisinya, saya akan melakukan gerakan tengok kanan dan kiri ke seluruh penjuru balai desa Jegreg. Mencari tahu apa yang mereka bahas atau yang telah mereka lihat. 

Tidak ada, Sebab, saya tidak ‘diberi-lihat’. Saya tahu diri. 

Pecekcokan dimulai dalam kondisi istirahat latihan di depan balai desa Jegreg, mereka masih hangat “kadang panas” membahasnya, saya juga berantusias mendengarkan dengan se-bijak mungkin. Di samping sisi, saya juga penasaran karena dengan kurun waktu lebih dari dua tahun hanya saya yang bodoh atas dedemitan alias tidak ‘diberi-tahu’.

Meskipun rumor yang beredar, di sekitar, tentang penunggu balai desa Jegreg sudah sampai di telinga. Ditambah saya cukup akrab dengan tempat ini, tetap saja bertahan "bodoh". 

Kalau berbicara rasa takut itu sama. Saya itu normal, pun memiliki rasa takut seperti manusia pada umumnya. Anehnya, sampai sekarang, saya belum sempat memahami apabila saya adalah tipe tidak ‘diberi-lihat’ dan rasa takut masih terus menghantui!

Apabila disimak lebih lanjut, saya itu golongan manusia rugi. 

Hanya diberi rasa tanpa ‘diberi-lihat’ itu sama halnya seperti jalan lewat pasar berjumpa warung sate, aroma satenya dapat, tidak dengan satenya, efeknya lapar. 

Pojok Kamar, 24 Jun. 22

Muis Amaryk


Posting Komentar

© Amaryk.id. All rights reserved. Developed by Jago Desain