Dongeng “Kelaku“

Kesadaran tentang aspek realistas, aku dapatkan ketika hidupku sudah diambang keterputusan yang sangat mendalam.

Aku adalah lekuk peradaban yang tersisa. Meyakini pada diri bahwa keadaan harus dinilai secara realistis. Dengan demikian, kehidupan yang aku jalani lebih beralasan dibanding tidak pernah menilai suatu keadaan dengan logika manusia. Maksudnya, gerak, laku, kata, tingkah, etika, serta komunikasi selalu dipertimbangkan. Tidak hanya asal bicara atau mengerjakan. Realistis. Memungkinkanku untuk memilih dan menimbang segalanya. Tentu dengan daya usaha kemampuan pikiran. 

Dongeng “Kelaku“
Aku sadar, jika segala pilihan yang aku pilih—apapun—pasti mempunyai resiko. Inilah yang seharusnya aku sadari sebelum resiko tersebut tiba lebih awal. 

Tidak sesempurna apa yang dipikirkan. Tentu, peluang error ada. Tugas hanya untuk meminimalisir hal tersebut. 

Kesadaran tentang aspek realistas, aku dapatkan ketika hidupku sudah diambang keterputusan yang sangat mendalam. Aku kira sudah tidak bisa ditolong lagi. Namun, keadaan berkata lain, aku selamat. 

Di fase tersebut, aku tidak pernah bisa berpikir jernih meskipun kesadaranku menuntut supaya berpikir jernih—karena aku pribadi selalu mencoba dengan “sungguh” berpikir sehat alias menjaga kewarasan otak—supaya aku tidak salah berpikir. 

Namun, keterjagaan atas kewarasan itu pupus tatkala tergerus dalam pusar tak tentu. Tiba-tiba muncul, sebelum aku menyadarinya. Aku kalut dalam pikiran gelap, untung tidak sampai jatuh menjadi orang gila. 

Di kamar, mengurung diri dan tidak pernah mencoba berinteraksi dengan siapapun. Kecuali keluarga di rumah. Itu pun bicara secukupnya saja, tidak lebih. 99 persent aseku habiskan di kamar. Meratapi nasib yang begitu menyesakkan. Sampai pada taraf tidak bisa apa-apa. 

Pagiku adalah siang. Salah satu faktor yang menjadikanku stress. Beberapa kali menginginkan bangun pagi. Tapi, tidak bisa. Usaha yang aku lakukan sudah maksimal. 

Misal, untuk memulai jam baru dalam aktivitasku senormal mungkin. Aku selalu nekat melek selama dua puluh empat jam. Intinya sampai pada kedatangan malam berikutnya, aku baru boleh bangun. 

Dengan demikian aku bisa bangun di pagi hari. Hidupku bisa senormal orang pada umumnya. Hanya seminggu, rutinitas awal kembali lagi. Malam melek sampai pagi dan baru tidur. Bisa sampai siang, siang menjelang sore, sore, atau kalau khilaf sampai malam. 

Satu keadaan dalam hidupku yang satu ini adalah musuh terbesarku, salah satunya. Seakan-akan aku tidak bisa mengontrol serta mengatur diriku sendiri. Aku kalah dengan diriku sendiri. Paksaan dan lembutan untuk menormalkan hidupku sudahku jalani. Tapi, akhirnya pasrah. Hanya mampu menyadari bahwa aku harus berjuang lagi. Tidak ada yang instan (satu poin).

Lalu, aku juga merasa menjadi manusia yang gagal, untuk membentuk kedirian yang aku inginkan. Kegagalan tersebut, saya sadari ketika aku sudah lulus dari dunia perkuliahan. Pulang. Ketika di rumah aku tidak bisa melakukan apapun. Aku merasa menjadi parasit di rumah. Karena rencanaku tidak terwujud, yakni; rencana setelah lulus kuliah. Dan, malah menjadi beban di rumah.

Secara pribadi, aku belum siap ketika di suruh tinggal di rumah terlalu lama. Belum siap. Karena pengetahuan bermasyarakatku masih minim. Belum lagi, mentalku untuk bermasyarakat sungguh jelek. Se-tahun memendam rasa bersalah ini. Aku stres (Poin dua). 

Tidak ada yang bisa dibanggakan saat itu. Aku kalut dalam diri yang negatif. Seperti tidak ada yang menolong. Tiap tengah malam biasanya saya ketawa sendiri, mengingat nasib itu. Aku takut pada diriku sendiri. Aku merasa sudah semakin aneh dalam kehidupan ini. 

Aku kaget keadaan. Dan, belum pernah memikirkan keadaan ini dengan bijak. Betapa tololnya diriku. Yang tidak mampu menguasai diri sendiri dengan becus.

***

Aku ingin menganalogikan keadaanku pada waktu itu:

Ada sebuah lingkaran kehidupan, satu lingkaran ini adalah kedirian pada seseorang. Di mana keadaan alam mental, rasa, dan pikiran ada di dalamnya. Internal diri yang tak tersentuh faktor eksternal, apalagi “metaternal”. Dengan keadaan seperti ini, segalanya merupakan satu warna karena terlalu dekat memandang. Nilai ukur diri sungguh terbatas. Jika satu kaca mata berwarna merah maka hanya merah yang muncul, tidak ada warna lain. 

Tahap pertama, kesadaran terbelenggu lingkaran tadi dalam diri seseorang. Disadari atau tidak. Jika tidak disadari, maka proses dari lingkaran tersebut bisa memakan waktu yang cukup lama, karena harus mencapai tahap sadar terlebih dahulu jika memang kediriannya terbelenggu. Untuk mencapai tahap dua ini ‘sadar’ dapat dicapai dengan banyak cara. Hanya saja, tidak semudah teori pengetahuan bila diterapkan. Usaha diri menjadi penentunya. 

Di saat sudah mencapai tahap kedua, berikutnya harus segera dikejar. Karena jika tidak segera dikejar, maka kesadaran tahap kedua bisa tertutup dan menghasilkan sesat pikir alias ketidaksadaran baru terlahir. Hati-hati. Tahap kedua adalah tahap yang menyakitkan, karena menolak zona nyaman. 

Zona ini cukup krusial untuk dihancurkan, kuat seperti beton. Pisau diri untuk menghadapi tahap dua adalah kenegatifan. Kenapa harus memakai perihal negatif? Yakni, untuk menyaksikan segala yang ada di depan mata dan pikiran. Zona rasio dan zona indrawi. 

Dua zona ini harus ditajamkan. Satu-satu cara untuk menajamkan ialah memakai pisau neg atif alias kritis atas segalanya. 

Lalu proses diri, menjadi penentu. Pertanyaan berikutnya ialah setelah keluar dari zona tersebut maka apa yang akan dilakukan? ini pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Setidaknya sebelum mencapai dari tahap ketiga yang berarti keluar dari lingkar tadi, sudah disiapkan akan melakukan sesuatu. Kok menjadi optimis pada diri? Bukankah keoptimisan itu anak kandung dari kesombongan yang mengakibatkan arogansi diri juga sekitar? Apabila sudah jatuh di sini apakah pikiran masih bisa dipercayai? 

Benar memang keoptimisan itu adalah anak kandung dari kesombongan, namun, ini adalah proses mencapai titik poin. Di awal sudah sedikit disinggung meskipun implisit sekali. Bahwa tahap kedua itu penuh dengan taruhan. Kadang juga bisa disebut hanya sebatas mengandalkan keberuntungan saja. Kemungkinan untuk berhasil sangat dan sungguh kecil. Tetapi, sekali berhasil, tak ada seorangpun mengetahuinya, itu sungguh dan sangat berharga bagi kedirian tiap orang. 

Maka untuk membidik capaian ke tingkat tiga, perlu adanya rasa optimis, hanya sekedar untuk memacu pisau positif, karena sejak awal mengandalkan pisau negatif. 

Ini dinamakan proses penyeimbangan meskipun dalam arti sebenarnya nilai negatif lebih dominan.

Lanjut ke tahap ketiga, tahap ini adalah tahap penyadaran atau pemahaman menyeluruh atas kejadian yang sudah dialami supaya dapat menjadi ilmu dan pengetahuan personal. Data ini sebenarnya yang penting untuk didapatkan. 

Bahwasanya disebut, sekedar untuk mencari data saja. Data personal. Kebergunaan data ini sungguh multifungsi, sebab dapat jatuh ke dalam aspek dogma juga doktrin. Maka, kepentingan data personal inilah yang kebermanfaatannya bergantung pada tiap individu yang memakainya. 

Ya pada akhirnya, kepersonalan menjadi tolak ukur diri. Apakah proses tadi menjadi percuma? Tidak, karena proses tadi adalah landasan atau ilmu untuk dapat memainkan data personal dengan bijak. Toh, proses ini cukup sulit dicapai, seperti yang dikatakan sebelumnya, sekali tercapai tak seorangpun mengetahui, betapa berharganya data personal ini. Pun, pada umumnya bagi seseorang yang melalui proses ini ‘mereka’ adalah orang-orang yang sudah bertekad dengan kuat, untuk mencapai nilai keluhuran. Jadi, kekhawatiran obrolan seperti ini percuma, sebelum mengalaminya sendiri. Sadar. 

22 Apr. ‘22

Muis Amaryk


Posting Komentar

© Amaryk.id. All rights reserved. Developed by Jago Desain