Mengenal Jenis Aliran Sastra

Ternyata pemetaan akan kesusastraan secara universal, dapat kita bedakan atau bagi dari segi fokus kajiannya. Misal di atas tadi, di sastra lisan...

Materi Pendekatan Dasar

Bukan Dongeng Pengantar Tidur!
Mengenal Jenis Aliran Sastra
Designed by Amaryk

Setelah menggugurkan gelar kemahasiswaan, saya kira ketenangan dan kedamaian akan mengiringi perjalanan saya selanjutnya. Belum lama juga. Di pertengahan tahun lalu. Ya setidaknya, saya sedikit pernah merasakannya. Tenang dan damai. Juga isi dalam almari otak saya. Cukup banyak, saya meninggalkan beberapa pengetahuan dan belum menjamahnya lagi. Salah satunya, satu rak dalam almari tersebut ialah tentang aliran dalam kesusastraan. 

Sepertinya saya akan kembali baku hantam. Ini bukan masalah sepele, saya kira. Buah pengetahuan aliran sastra itu seperti ruang dan waktu, yang begitu luas pun abstrak. Hampir mirip, jika kita ingin melacak pemikiran-pemikiran dalam ruang filsafat. Apabila saya tidak pernah membaca buku dan menelaah dari berbagai sudut pandang! Ah saya pasti akan pincang dari segi pemahaman. Lalu, kepincangan tersebut membuahkan hasil kesesatan. Mengerikan!

Singkat kata, saya akhirnya membuka kembali rak dalam almari otak ini. Berbagai peralatan saya bawa, seperti: palu dan clurit. Saya lupa menaruh kunci almarinya. Akhirnya saya dobrak saja, palu saya hantam kan 1001 kali dan serpihan-serpihan yang bertebaran memunculkan tatanan tak rata, clurit pun saya gunakan untuk membersihkan dan meratakan pintu almari, yang sudah hancur dan tak berbentuk lagi. Booomm! Saya melihat bercak-bercak bayangan dalam rak almari? Apa! hanya bayangan saja! Tak berpikir panjang. Saya ambil rak tersebut. Lalu, saya lemparkan ke tembok dengan sekuat tenaga. Braaakkkk... tai asu…

Setelah saya kehilangan kendali dan terjaga kembali. Saya melihat beberapa lembar kertas dengan tulisan yang belum bisa terbaca. Abstrak. Oh itu dia? Ternyata rak tersebut masih berisi. Apa yang terbaca? ada klasisme, romantisme, realisme, dan di pojok ruangan terbaca Pramoedya Ananta Toer. Oh dia realisme sosialis. Ada juga kertas yang masih bertebaran, saya amati dan terbaca naturalisme? Oh, cinta saya Mbak Ayu Utami. Ya ya ya, saya masih mampu mengingatnya, itu perkakas aliran sastra. Cukup buat bekal nanti. 

Kekacauan yang saya alami jangan kira tak bersebab. Ini sungguh bersebab! Karena ada antek-antek DIMeNSI yang kembali menghubungi saya! Persetan. Mereka mampu menundukkan saya, karena mereka mendapat bantuan dari Lord Jusuf Pitroh. Alamak! Hampir semua manusia-manusia itu saya bakar. Otak saya hanya berpikir, hanguskan, hanguskan, hanguskan, hanguskan, hanguskan, hanguskan, hanguskan. Supaya jadi arang semua. Saya pun bisa merdeka lagi. Tetapi, setelah saya pikir kembali! saya juga pernah menjadi antek DIMeNSI dan ada perkataan, “Mas dulu juga pernah di staf sastra kan? Juga pernah di devisi pengembangan sumber daya manusia kan?” Ok saya kalah dan tak bisa menolak, untuk kali ini saja. Selanjutnya pasti saya bakar. 

Lupakan. Mari kita mulai serius. Halo? Teman-teman peserta PLASTER? Semoga kebaikan selalu menyertai kalian dan akal budi masih tetap di tempatnya. Kalian tahu bukan? Apabila kita berbincang tentang aliran sastra, setidaknya kita sudah mempunyai dasar kronologis perjalanannya? Sejarah sastra, yang saya maksud. Itu penting sekali sebagai media awal guna masuk ke babak aliran sastra. Karena tanpa adanya sejarah sastra tak akan tercipta aliran sastra. Pemahaman akan term angkatan, periodisasi, dan latarbelakang yang membentuknya, dll. Silakan diingat-ingat lagi. 

Sebab kita sedang menyelam pada keilmuan sastra. Semoga kalian dapat membedakan ya, apa itu ilmu sastra? Dan apa itu cipta sastra? Jika kalian ingin mengembangkannya? Itu lebih bagus. Kalian kelak bertemu dengan ilmu sastra lanjut, seperti: sastra umum, sastra khusus, dan sastra bandingan. Lalu ketika kalian fokus pada cipta sastra lanjut, kalian akan menjadi dewa sastra. Seperti tokoh-tokoh sastrawan yang kalian banggakan.

Sedangkan untuk fokus pembahasan kita kali ini, pada aliran sastra. Pertanyaannya, ilmu ini masuk dalam ranah ilmu sastra yang mana? Aliran sastra itu masuk dalam sub ilmu sastra, sejarah. Apakah itu sub dari sejarah sastra? Bukan. Aliran sastra adalah kaca mata/sudut pandang/perspektif khusus untuk menelaah lebih-dalam ilmu sastra. Kita akan menemui imbuhan ‘me’, yang berarti sebuah paham atau prinsip dalam kehidupan. Misalnya, klasik menjadi klasisme, romantis menjadi romantisme, realis menjadi realisme, dll.

Secara definitif, saya tidak akan bermuluk-muluk untuk menjelaskan. Silakan kalian lacak sendiri. Namun, ada yang perlu kalian ketahui. Apabila kalian bertemu dengan term ‘genre’ dalam sastra, setidaknya kalian akan menjumpai: sastra lisan, sastra tulis, sastra elektronik. Ini mengacu pada tiga paradigma sastra secara universal. Ya jangan sampai kebingungan saja, seperti yang dulu pernah saya alami. Sebab ada pertanyaan, apakan aliran dan genre itu berbeda? Bukannya sama? Pertanyaan yang sungguh memalukan bukan? karena pertanyaan itu menandakan bahwa saya kurang banyak membaca buku atau tradisi literasi saya masih rendah. 

Ternyata pemetaan akan kesusastraan secara universal, dapat kita bedakan atau bagi dari segi fokus kajiannya. Misal di atas tadi, di sastra lisan, sastra tulis, dan sastra elektronik. Ini masuk pada acuan paradigma umum kesusastraan. Paradigma umum tersebut dibagi menjadi tiga, yakni paradigma agrarial yang didominasi oleh sastra lisan, paradigma industrial yang didominasi oleh sastra tulis, dan paradigma informatif yang didominasi oleh sastra elektronik. Belum lagi, jika nanti membahas tentang bentuk karya sastra, seperti: roman, novel, novelet, cerita pendek, puisi, sajak, prosa, dll. 

Semoga kalian dapat membingkainya dengan indah. Selanjutnya, yang perlu saya tuliskan disini yaitu tentang wacana dalam aliran sastra. Kalian tahu? Apabila kita mempelajari aliran sastra, kita kerap banyak menemukan berbagai versi. Saya sendiri mengakui belum mempunyai buku induk yang membahas khusus tentang aliran sastra. Lalu bagaimana saya dapat mengabstraksikannya? Akhirnya saya berusaha menyelami berbagai sumber literatur. Mulai dari buku, internet, jurnal, bahkan skripsi dan disertasi.  Apa yang terjadi pada saya? Saya mengalami yang namanya kebingungan tingkat akut. Persetan ini materi! Hahaha

Saya kembali membaca dengan berulang-ulang dan berulang-ulang dan berulang-ulang. Ok, saya menemukan titik wahyu pemahaman: pertama memang banyak versi atau sudut pandang tentang aliran sastra, kedua aliran sastra dapat dipahami dengan melacak dealektikanya, ketiga aliran sastra dapat ditelusuri dari segi historis-kronologis/sejarah, keempat aliran sastra dapat dikelompokkan dari segi teori yang mendefinisikan, kelima bahwa aliran sastra tak akan bisa lepas dari semua sub ilmu sastra dan ilmu lain (filsafat, agama, kebudayaan, politik, dll). Mengasyikkan bukan?

Oleh sebab itu saya di awal menuliskan; salah satu dasar pengantar ke aliran sastra yang paling penting adalah membaca dan memahami sejarah sastra. Apakah cukup kita membaca dari sejarah sastra Indonesia saja? Kurang lebih itu cukup dan lebih bagus, dari pada tidak. Hanya saja, sejarah sastra kita itu belum terlalu jauh/lama. Pengaruhnya masih tetap, yaitu dominator ilmu pengetahuan di Barat. Di mulai sejak kapan? Sejak tahun belum menaiki tangga Masehi. Meletusnya ketika terjadi revolusi industri di Barat, yang dimulai sekitar abad ke lima belas sampai sekarang. Sedangkan, aliran sastra yang baru terdeteksi di negara kita. Itu mulai muncul pada angkatan pujangga baru, yang menggugat paham angkatan sastra sebelumnya. 

Ya begitulah, sampai pada berbagai carut-marut wacana kesusastraan, yang diperdebatkan. Pun sampai sekarang. Setidaknya tulisan ini dapat sedikit memantik pendiskusian. Karena masih ada banyak hal, yang dapat kita bicarakan nanti. Di bawah saya sertakan, hasil data aliran sastra yang sudah saya kumpulkan. Saya mendapatkan data tersebut dari berbagai sumber. Pertama-tama aliran sastra secara keseluruhan, meskipun tidak semuanya saya cantumkan. Lalu, ada kerangka aliran sastra secara kronologis dan teori, sebagai media pendukung pemahaman. 

Akhir kata, dikarenakan saya adalah pemantik paling muda di pelatihan sastra DIMeNSI ini dan masih belum banyak pengalaman. Dibandingkan dengan pemantik lainnya. Apalagi mereka itu sangat produktif dan sudah memunculkan banyak karya sastra. Jadi, jalan tengah yang paling mudah untuk saya lakukan adalah kita sama-sama belajar. Saya rasa itu lebih baik. Karena memang saya juga masih dalam tahap belajar. Sama seperti kalian. Dan apabila dipikir-pikir tentang keproduktifan saya! Ternyata saya itu memang tidak produktif, karena saya hanya bisa memberi benih saja. Tabik.

Salam Jiwa Sastra

24 Juli ‎2020

Muis Amaryk


Macam-macam aliran sastra:

1. Romantisme

Ditandai dengan ciri, keinginan untuk kembali ke tengah alam, kembali kepada sifat-sifat yang asli, alam yang belum tersentuh dan terjamah tangan-tangan manusia. Istilah ini juga mencakup ciri-ciri adanya: keterpencilan, kesedihan, kemurungan, dan kegelisahan yang hebat. Kecuali itu romantik juga cenderung untuk kembali kepada zaman yang sudah menjadi sejarah, masa lampau yang terkadang melahirkan manusia-manusia besar. Pengungkapan yang romantis sering dikaitkan dengan percintaan yang asyik dunia muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak pengalaman.

Contoh: puisi-puisi Amir Hamzah “ Buah Rindu“, “ Karena Kasihmu “, “ Memuji Dikau “, “ Mengawan “, “ Do’a “, karya-karya Hamka “ Tenggelamnya Kapal Van der Wijk “, “ Di Bawah Lindungan Ka’bah “, “ Di dalam Lembah Kehidupan “, roman “ Upacara “ dan kumpulan sanjak “ Nyanyian Ibadah “ nya Korrie Layun Rampan, kumpulan sanjak  “ Romance Perjalanan “ Kirjomulyo, “ Buku Puisi “ nya Hartoyo Andangjaya.

2. Realisme

Aliran ini mengutamakan realitas kehidupan. Sastra realis merupakan kutub seberang dari sastra imajis. Apa yang diungkapkan para pengarang realis adalah hal-hal yang nyata, yang pernah terjadi, bukan imajinatif belaka. Biografi, otobiografi, true-story, album kisah nyata, roman sejarah, bisa kita masukkan ke sini. Sastra realis juga berbeda dengan berita surat kabar atau laporan kejadian, karena ia tidak semata-mata realistik. Sebagai karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan plastis bahasa yang memikat.

Contoh: Novel “Fatimah“ karya Titie Said, “Rindu Ibu adalah Rinduku” karya Motinggo Boesye, “Bilik-bilik Muhammad” karya A.R.Baswedan, skenario  “Arie Anggara“ karya Arswendo Atmowiloto, novel biografis “Pangeran dari Seberang“ karya N.H.Dini tentang Amir Hamzah, novel “Dari Hari ke Hari“ Mahbub Junaidi, “ Guruku Orang Pesantren “ Syaifuddin.

3. Naturalisme

Aliran yang mementingkan pengungkapan secara terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. Pengarang naturalis dengan tenangnya menulis tentang skandal para penguasa atau siapapun, dengan bahasa yang bebas dan tajam. Pornografi, karya mereka jatuh menjadi picisan, bukan tabu bagi mereka. Biasanya, hal ini benar-benar mereka sadari, bahkan mereka pun sempat membanggakan naturalisme ini sebagai gaya mereka.

Contoh: Kumpulan sanjak F. Rahardi, “ Catatan Harian Sang Koruptor “ dan “ Sumpah WTS “, beberapa sanjak Rendra “ Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta “, “ Rick dari Corona “, “ Sajak Gadis dan Majikan “, Sajak SLA “. Dari khazanah lama “ Surabaya “ nya Idrus bisa digunakan sebagai  contoh meskipun tidak seseru punya F. Rahardi dan Rendra.

4. Ekspresionisme

Aliran ekspresionisme mementingkan curahan batin atau curahan jiwa dan tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang nyata. Ekspresi keras dan meledak-ledak biasa dianggap sebagai pernyataan atau sikap pengarang.

Contoh: Chairil Anwar dalam “Persetujuan dengan Bung Karno”

5. Impresionisme

Aliran ini yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Dengan ciri: kebebasan berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan secara terbuka.

Contoh: Sanusi Pane dengan puisi-puisinya seperti “Candi,” Abdul Hadi W.M., dan W.S Rendra.

6. Determinise

Dalam sastra, determinisme mencoba menggambarkan tokoh-tokoh cerita dikuasai oleh nasibnya, sehingga tokoh tersebut tidak sanggup dan tidak mampu lagi ke luar dari takdir yang telah jatuh pada dirinya. Takdir yang dimaksudkan di sini bukanlah takdir dari Tuhan sesuai dengan konsepsi yang berlaku pada agama langit, melainkan takdir yang lebih tepat dikatakan sebagai akibat yang tak dapat dielakkan karena peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya, berupa faktor-faktor biologis, lingkungan dan sosial.

Contoh: “ Trilogi Oedipus “ nya Sophokles, “ Tragedi Sangkuriang “, “ Pengakuan Pariyem “ nya Linus Suryadi AG, novel “ Kuterima Penderitaan Ini, Ibu “ Motenggo Boesye,  tokoh-tokoh cerita Iwan Simatupang,  Putu Wijaya, Arifin C yang papa. (baca “Merahnya Merah” dan “Kering” karya Iwan, “Pol” dan “Stasiun” karya Putu, “Mega-mega”, “Kapai-kapai”, “Umang-umang” klarya Arifin.

7. Surealisme

Aliran yang terlalu mengagungkan kebebasan kreatif dan berimajinasi sehingga hasil yang dicapai menjadi antilogika dan antirealitas. Bisa jadi apa yang terungkap itu pada mulanya berangkat dari kenyataan sekitar, tetapi karena desain imajinasinya itu sudah demikian sarat, kuat dan jauh, ia terasa ekstrim dan radikal. Ada semacam keadaan trans (hanyut/kesurupan) di sana, sesuatu yang tidak kita temukan dalam realisme maupun naturalisme.

Contoh: sanjak Rendra “ Khotbah “, “ Nyanyian Angsa “, “ Mencari Bapa “, cerpen-cerpen Danarto “ Godlob “, “ Kecubung Pengasihan “, “ Rintrik “, “ Sanu, Infinita Kembar “ Motenggo Boesye

8. Idealisme

Aliran dalam kesusastraan yang mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya penuh perasaan dan cita-cita. Mereka berpendapat, sastra punya peran untuk suatu perubahan sosial ke arah yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-karya pengarang idealis, diharapkan mampu mengubah sikap hidup masyarakat atau pembaca dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang malas menjadi rajin, dan seterusnya.

Contoh: “Habis Gelap Terbitlah Terang“ karya  R.A. Kartini, “Layar Terkembang“ karya  Sutan Takdir Alisjahbana. “Kemarau“ karya A.A. Navis, cerpen “Kadis“ karya Muhammad Diponegoro. Cerpen  “Sisifus” karya Muhammad Fudoli Zaini

9. Psikologisme

Aliran yang mengutamakan pembahasan masalah kejiwaan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam novel, suasana jiwa dan konflik batin para pelaku disoroti dengan tajam, detail dan mendalam.

Contoh:  “Belenggu” Armijn Pane, “ Atheis “ Achdiat Kartamiharja, “ Royan Revolusi “ dan “ Kemelut hidup “ Ramadhan K.H., “ Damai dalam Badai “ dan “ Cintaku Selalu Padamu “ Motenggo Boesye, “ Bila Malam Bertambah Malam “ Putu Wijaya, novel-novel N.H. Dini, Titie Said, La Rose, Ike Supomo, Marga T., Ashadi Siregar, Ahmad Tohari, bisa disebut sebagai novel psikologi.

10. Absurdisme

Aliran dalam kesusastraan yang menonjolkan hal-hal yang di luar jalur logika, satu kehidupan dan bentang peristiwa imajinatif, dari alam bawah sadar, suasana trans. Pengarang aliran ini punya  kesan mengada-ada, sengaja menyimpang dari konvensi kehidupan dan pola penulisan, tetapi pada superstar nya, nampak kuat kebaruan dan kesegaran kreativitas mereka, bahkan kejenisan mereka. Umumnya, mereka ini pernah pula sukses sebagai pengarang konvensional, mereka, bukan sunyi dari penciptaan lukisan-lukisan naturalis

Contoh: karya Iwan Simatupang di dasawarsa 60 an, baik dalam dramanya “ Petang di Sebuah Taman “, dan “ RT 0 RW 0 “, cerpen-cerpennya yang terakit dalam “ Tegak Lurus dengan Langit “, maupun dalam empat novel monumentalnya : “ Kering “, “ Merahnya Merah “, “ Ziarah “, “ Koooong “. Ternyata, kehidupan yang serba mungkin dan dirias renda-renda absurditas ini banyak mengilhami lahirnya sastra absurd, sebagai bisa diciptakan oleh penyair Sutarji Calzoum Bachri dalam “ O  Amuk  Kapak “, “ Yudhistira Ardi Noegraha dalam “ Omong Kosong “, dan “ Sajak Sikat Gigi “, serta  oleh Ibrahim Sattah dan Sides Sudiarto Ds. dalam sanjak-sanjak mereka, oleh pengarang Budi Darma dalam kumcerpen “ Orang-orang Bloomington” “, oleh Putu Wijaya dalam karya-karya sastranya “ Telegram “, “ Stasiun “, “ Lho “, “ Keok “, “ Sobat “, “ Gres “, di samping drama-dramanya “ Anu “, “ Dag Dig Dug “, “ Aduh “, “ Zat “, oleh Arifin C. Noer dalam “ Kapai-kapai “, “ Mega-mega “, “ Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi “, oleh N. Riantarno dalam “ Bom Waktu “, “ Opera Kecoak “ dan naskah saduran “ Perempuan-perempuan Parlemen “.

11. Eksistensialisme

Ajaran yang pokok dari eksistensialisme ialah bahwa manusia adalah apa yang diciptakannya sendiri. Manusia tidak ditakdirkan oleh Tuhan. Jika ia menolak memilih atau membiarkan dirinya dipengaruhi oleh kekuatan luar, itu adalah kesalahannya sendiri. Karena itu, karya sastra eksistensialisme sangat mementingkan perbuatan –termasuk perbuatan kemauan- sebagai unsur-unsur yang menentukan. Unsur-unsur dasar dari manusia seperti irasionalitas, ketidaksadaran dan kebawahsadaran juga dipentingkan. Kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, yang terus mengalir sedangkan kehidupan manusia adalah rentetan saat-saat yang berurutan.

Fuad Hasan dalam bukunya “Berkenalan dengan Eksistensialisme” mencoba memprkenalkan suatu alam pikiran yang dewasa ini dikenal dengan nama eksistensialisme, dengan membutiri pendapat filsuf eksistensialis melalui hasil-hasil karya sastranya. Beberapa pikiran tokoh eksistensialisme itu dikutipkan berikut ini :

Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya tak pernah ia mantap sempurna (Kiergaard).

Manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan (Kiergaard).

Dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang, maka kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan, apa yang baik, harus kuat; sebaliknya segala yang lemah adalah buruk dan salah (Niezseche).

Dalam pergaulan antara manusia maka yang harus ditumbuhkan dalam manusia-manusia agung yaitu manusia yang oleh kekuatan tak bisa mengatasi kumpulan manusia-manusia dalam massa (Nietzseche).

Contoh: Iwan Simatupang “Ziarah”, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Kuntowijoyo, Putu Wijaya.

12. Neonaturalisme

Merupakan aliran baru dari aliran naturalisme. Aliran ini tidak saja mengungkapkan sisi jelek, tapi juga memandang sesuatu dari sudut pandang baik.

Contoh: Pada Sebuah Kapal, karya Nh. Dini dan cerpen-cerpen Montinggo Busye. 

13. Didaktisme

Aliran dalam sastra yang menekankan pada aspek-aspek pendidikan. Dalam karya sastra lama banyak yang bersifat mendidik.

Contoh: salah asuhan, karya Abdul Muis, Karena Kerendahan Budi, karya HDS Muntu, Syair Perahu, Syair Karya Hamzah Fansuri

14. Mistisisme

Aliran kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis terhadap keagungan Maha Pencipta.

Contoh: Syair Perahu, Karya Hamzah Fansuri, Nyanyi Sunyi, Karya Bahrum Ranguti, Rindu Dendam, Karya J.E. Tetengkeng.

15. Filsafatisme

Aliran yang mengedepankan hadirnya nilai-nilai filsafati, suatu pemikiran mendalam makna hidup, yang biasanya berangkat dari penghayatan personal. Para pengarang dan penyair yang karya-karyanya kental berkadar filsafat disebut pujangga. Tidak sedikit di antara mereka sekaligus filsuf.

Contoh: karya-karya Dari R.A. Kartini, R. Ng. Ronggowarsito, Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, Frans Kafka, Iwan Simatupang, Subagio Sastrowardoyo, Putu Wijaya, Emha Ainun Najib.

16. Melankholime

Aliran dengan karya-karya penuh warna muram, sendu, kehidupan yang getir dan tragis, sarat ratapan dan rintihan. Kisah cinta klasik, drama-drama dalam film India, cerita-cerita dengan tema kemiskinan, kemalangan hidup dan penderitaan.

Contoh: “Di dalam Lembah Kehidupan “, “ Tenggelamnya Kapal Van der Wijk “, “ Di bawah Lindungan Ka’bah “ karya Hamka,    “ Buku Harian Seorang Penganggur “ dan cerpen-cerpen serta drama-drama Muhammad Ali, puisi-puisi Amir Hamzah dalam “ Buah Rindu “, kebanyakan sanjak-sanjak Leon Agusta, merupakan sastra melankholik. Lagu-lagu Rinto Harahap, Charles Hutagalung, Benny Panjaitan, A. Riyanto.

17. Ironisme

Aliran yang mementingkan nada mengejek, kadang terus terang, kadang melalui sindiran-sindiran. Bisa juga, karya itu sebenarnya merupakan kritik tajam terhadap kondisi sosial atau perilaku tokoh tertentu.

Contoh: “Melaut Benciku “ Amal Hamzah, “ Kisah Sebuah Celana Pendek “ Idrus, beberapa cerpen Hamsad Rangkuti dan  “ Sumpah WTS “ dan “ Catatan Harian Seorang Koruptor “ F. Rahardi.

18. Nihilisme

Aliran yang mengekspos peristiwa atau pemikiran-pemikiran, bisa saja sampai tingkat filsafat, tanpa landasan moral kemanusiaan, apalagi KeIlahian. Cerita-cerita yang ateistik, komunistik, sekuleristik, chauvinistik bisa dimasukkan ke dalam fiksi nihilis. Ada memang, cerita yang menghadirkan paham-paham penafian Tuhan, pemasabodohan agama dan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan.

Contoh: misalnya “ Atheis “ nya Achdiat Kartamihardja, tetapi karena tenden pengarang tidak ke sana sebagai justru terlihat dalam sikap Achdiat yang mengkritik tokoh-tokoh ceritanya itu, maka karangan tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam nihilisme.

19. Simbolisme

Pengungkapan simbolis tidak secara harfiah, melainkan dengan simbol-simbol. Sebuah simbol berarti sesuatu yang bermakna sesuatu yang lain. Bunga mawar sebagai simbol dari kecantikan. Simbolisme merupakan aliran dalam sastra yang mencoba mengungkapkan ide-ide dan emosi lebih dengan sugesti-sugesti daripada menggunakan ekspresi langsung, melalui objek-objek, kata-kata dan bunyi. Aliran ini merupakan reaksi terhadap  realisme dan naturalisme yang hanya berpijak pada kenyataan semata. Sastra simbolik banyak menggunakan simbol atau lambang dalam mengungkapkan pemikiran, emosi, secara samar-samar dan misterius. 

Contoh: semua fabel (misalnya “Serial Kancil”, “Hikayat Kalilah dan Daminah”) adalah contoh tepat simbolisme ini. “ Dengar Keluhan Pohon Mangga “, karya Maria Amin, “ Musyawarah Burung “ karya Fariduddin Attar, “ Kucing “ sanjak Sutardji Q.B., “ Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa “ karya Y.B. Mangunwijaya, “Ular  dan  Kabut“ sanjak Ayip Rosidi, “Sebuah Lok Hitam“ puisi Hartoyo Andangjaya.

20. Heroisme

Aliran yang mencuatkan nilai-nilai kepahlawanan, kecintaan terhadap tanah air dan figur teladan bangsa, serta semangat membela tanah air.

Contoh:  “Bende Mataram“ karya Muhammad Yamin, “Diponegoro“ karya Chairil Anwar,  “Monginsidi“ karya Subagio Sastrowadojo, “Tanah Tumpah Darah“ karya Sitor Situmorang, “Stasiun Tugu“ karya  Taufik Ismail, “Ode bagi Proklamator“ karya  Leon Agusta, dan tentu saja lagu kebangsaan “Indonesia Raya“ dan lagu-lagu nasional “Ibu Kita Kartini“, “Satu Nusa Bangsa“, “Padamu Negeri“, “Rayuan Pulau Kelapa“, juga lagu-lagu “Sepasang Mata Bola“, “Melati Tapal Batas“,  “Pantang Mundur“, merupakan contoh-contoh heroisme ini. “Percikan Revolusi“ dan “Cerita-cerita dari Blora“ karya Pramudya serta cerpen-cerpen revolusi Trisno Yuwono “Di Medan Perang“ dan “Laki-laki dan Mesiu“.

21. Religiusisme

Aliran yang mementingkan nilai-nilai keagamaan atau renungan tentang Tuhan dan manusia di hadapan-Nya. Sastra religius dimiliki oleh setiap agama, juga oleh sastrawan yang punya penghayatan personal terhadap Tuhan.

Contoh:  “Gitanyali“ karya Rabindranath Tagore, “Rindu Dendam“ karya Y.E. Tatengkeng,    “Kata Hati“ karya Samadi, beberapa sanjak Rendra dalam “Sajak-sajak Sepatu Tua“, “Balai-balai“, “Sajadah Panjang“, “Aisyah Adinda Kita“ karya Taufik Ismail, “99 untuk Tuhanku“ karya Emha Ainun Najib, “Nyanyian Ibadah” karya Korrie Layun Rampan, cerpen “Di dalam Kereta Api Perjalanan Hidup“ karya Riyono Pratikto, novel “Rindu Ibu adalah Rinduku“ dan “Perempuan-perempuan Impian“ karya Motenggo Boesye, “Wirid“ karya Ikranegara, novel “Ibuku Sayang“ karya Teguh Esha

22. Transendentalisme

Aliran yang mengetengahkan nilai-nilai transendental, renungan-renungan hidup yang mendalam, yang metafisis (di atas hal-hal yang fisik/nampak). Kalau sastra sufi merupakan katarsisme, maka sastra aliran ini kebanyakan bersifat kontemplatif.

Contoh: Sanjak-sanjak Afrizal Malna dalam “Abad yang Berlari”, “Isyarat“ dan “Suluk Awang-uwung“ karya Kuntowijoyo, cerpen-cerpen Danarto dan Hamid Jabbar, serta Ahmad Tohari, sanjak-sanjak Umbu Langgu Peranggi dan Goenawan Mohamad, juga “Sejuta Milyar Satu“ karya Eka Budianta

23. Komedialisme

Penuh suasana ceria, kocak, menganggap hidup penuh optimisme dan rasa humor, berbeda dengan determinisme dan melankolisme yang pesimistis. Tetapi ia tidak identik dengan lawak.

Contoh: Gaya bahasa Mahbub Junaidi dan Slamet Suseno, bahkan Y.B. Mangunwijaya dalam “Puntung-puntung Rara Mendut“ mengacu ke sini. Drama “Tuan Kondektur“, “Pinangan“, “Orang-orang Kasar“ karya  Anton Chekov, “Kejarlah Daku kau Kutangkap“ karya Asrul Sani, novel “Dari Hari ke Hari“ karya Mahbub Junaidi, “Arjuna Mencari Cinta“ dan “Yudhistira Duda“ oleh Yudhistira Ardi Noegraha.

24. Materialisme

Mengemukakan bahwa dunia sangat bergantung pada materi dan gerak.  Materialisme berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan akal manusia.

Contoh: karya-karya yang muncul pada realisme, impresionisme, naturalisme, dan determinisme. Bisa dikatergorikan aliran ini. 

25. Klasisme

Aliran sastra klasik telah menempuh teori sastra Yunani dan Romawi Kuno, yang selalu tunduk pada kaidah-kaidah seni sastra. 

Contoh: hasil dari terjemahan karya sastra kuno dan sastra kuno itu sendiri.

26. Realisme sosial

Aliran karya sastra secara realis yang digunakan pengarang untuk mencapai cita-cita perjuangan sosialis.

Contoh: salah satunya, karya sastra yang bertemakan sejarah, misal karya dari Pramoedya.

27. Imajisme

Berusaha melukiskan perasaan dalam imajinasi yang jernih dan jelas. Kata-kata dipilih secara efesien dan cermat. Kenyataan apapun dikemukakan. Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari-hari dengan ritme yang tidak mengikat. Kata-kata dipandang segalanya. Di samping yang mengungkapkan gagasan penulis atau penyair. Kata-kata itu mendukung imajinasi penulis atau penyair, yang hendak ingin disampaikan.

Contoh: Puisi Sapardi “Peristiwa Pagi Tadi” 



Posting Komentar

© Amaryk.id. All rights reserved. Developed by Jago Desain